satu langkah membawa perubahan, tetap membawa berkah dalam rangkulan sejarah

Senin, 12 Maret 2012

Macak turis Ngegembel Ke Suku Badui

Wisata Budaya Suku Baduy


Semalam dengan Sejuta Kesan (Baduy Vacation)
Kampung Baduy
Saucap pangjajap, Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. Puji sinareng syukur mugia urang panjatkeun aka agungan nu maha ngagaduhan sagala isi alam dunya ieu nyaeta Allah SWT. Shalawat sinareng salam mugia urang panjatkeun ka junjungan urang sadaya nabi Muhammad SAW. Nalika dina lallampahan ka suku baduy abdi janwar bade nepangkeun ka para pangaos seratan ieu. Abdi ngalampah ameng ka suku baduy sareng rencang nu namina yonandha. Abdi sareng Nandha ngahaturkeun salam ka rerencangan anu aya di jawa. Lalampahan ka baduy teh sanes acara hura-hura tapi acara ngenalkeun sareng ngadekeutkeun kana kaanekaragaman budaya nu aya di tanah sunda khususna tanah baduy. Tanah anu pinuh ka unikan sareng kabungahan pikeun abdi nyalira sareng yonandha. Upami rerencangan nu ti jawa kersa sareng aya waktos hayu urang ameng ka baduy supados raos paningal kana kahirupan nu sabenerna nu aya di baduy. Da upami sanes urang sadaya saha deui nu rek ngalestarikeun sareng ngajaga tina kaunikan anu diciptakeun ku Allah Swt. Mung sakitu panghatur salam ti abdi pikeun rerencangan nu aya ti jawa. Hatur nuhun wassalamualaikum wr.wb.

Artinya: Salam kenal aja dari kami poro turisers hehehehehehhhee... Kali ini saya berpetuanlang dengan teman saya bernama Janwar (nek jaJAN rak usaha naWAR), dia juga yang menulis salam pembuka buat poro turisers. Sebagai turis freelance atau turis cadangan, atau apapunlah sebutannya yang penting ada turisnya. Akhirnya saya menulis  juga tentang perjalanan ke Baduy. Yaa Baduy, bukan serial komedi situasi “Bajai Baduyi”, apa lagi lagu “Baduy Lautan Api”. Tapi ini merupakan suku asli di Provinsi Banten, tepatnya berada diiiiii situuuu! “Iya pokoknya disitu! Untuk mempermudah penyebutannya saja, karena saya lupa nama tempatnya hahahahaa…”. Kalo menurut mbah google, BADUY merupakan kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi masyarakatnya sekitar 5.000 jiwa dan merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar.

Saya bersama Kak Juli dan Kak Rohman
Jumat, 30 Desember 2011 beserta teman saya berangkat dari Leuiwiliang  tempat tinggal kami. Mulanya rencana yang berangkat 8 orang, namun tiba-tiba 6 orang membatalkan perjalanan. Karena “mental turis” yang besar akhirnya kami tetap berangka, meskipun hanya tinggal 2 orang. Perjalanan ini kami tempuh menggunakan sepeda motor, menuju  arah Jasinga lalu ke Ci Minyak. Berhubung hari jumat, meskipun kami jarang sholat 5 waktu tetapi tetaplah hari jumat harus melaksanakan Sholat Jum’at. Uniknya untuk berwudu kita tidak menggunakan sumur atau air PAM, tapi kita berwudu di Sungai mungkin itu kebiasaan masyarakat setempat. Setelah sampai di Ciminyak kita  menuju arah Cisimeut dan berakhir di terminal Ciboleger. Walaupun terdengar aneh, nama tempat tersebut tidak direkayasa. Kira-kira 2-3 jam dari landing, kami sudah bisa mencapai tujuan dengan satu kali beristirahat.


Bercengkraman dengan warga setempat
Terminal Ciboleger  merupakan pintu masuk resmi sekaligus tempat bermukimnya suku Baduy Luar. Sesampainya disana kita langsung didatangi oleh seseorang yang tidak kami kenal sebelumnya. Kami kemudian berkenalan dan berbincang-bincang sejenak. Setelah sesaat berbincang akbrab kami pun berkenalan, namanya  Aa’ AGUS (Agak Gundul Ujungnya Sobek). Ternyata beliau adalah orang yang mempunyai link untuk mengantarkan kami ke wilayah Baduy, atau bisa disebut sebagai biro wisata yang menguasai, tetapi tidak dikelola dalam bentuk perusahaan melainkan hanya perantara biasa (perorangan). Kami ditawari paket 1 malam menginap sebesar IDR 150K tidak termasuk makan. Banyak atau sedikit orang yang berangkat ke “Baduy Dalam” tetap IDR 150K, jadi yang dihitung harga perjalanan bukan perorangan. Dengan jurus tawar menawar dalam bahasa sunda, akhirnya kita sepakat dengan harga IDR 100K. Setelah mendapat kata deal, si Aa’ Agus pergi sebentar dan kembali dengan membawa 2 orang suku Baduy Dalam. Kedua orang inilah yang akan mengantarkan kami ke kampungnya. Ohiyaa nama kedua orang tersebut adalah Kakak Juli dan Kakak Rohman. Eitts... ini bukan bermaksud melucu seperti Stand Up Comedy lho! Tapi sebutan “Kakak” merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Baduy.

Di beranda rumah
Sebelum berangkat kita diberi tahu untuk mematuhi peraturan-peraturan di kampung Baduy, diantaranya  tidak boleh mengambil foto (*sangat bertolak belakang dengan hasrat saya). Kalau melanggar maka bisa dijatuhi sangsi dipenjara. “Whaaaaaaatttt, penjara!” jangan kaget dulu istilah penjara yang dimaksud adalah kita ditahan selama 40 hari di dalam desa Baduynya. Hadeehh-hadeehh, ya sudahlah walau sedikit kecewa kita tetap harus menghormati dan menuruti peraturaan tersebut. Walupun begitu wilayah Baduy Luar masih diperbolehkan difoto. Saat memulai perjalanan kita disuguhkan berbagai pernak-pernik cinderamata khas Baduy, mulai dari kain tenun Baduy, sarung Baduy, ikat kepala, madu dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar memang lebih dikenal dengan hasil kerajinannya. Sedangkan suku Baduy Dalam tidak membuat pernak-pernik tersebut, namun hanya tradisi yang selalu dipertahankan hingga saat ini.

Si Janwar berada di jembatan bambu
Kita berangkat pukul 14.00 WIB, kira-kira 5 menit berjalan kita berhenti di rumah Kepala Desa Baduy Luar di daerah tersebut. Masyarakat Baduy sering menyebutnya Jaro Pamarentah, secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes (Baduy Dalam) dengan pemerintah nasional, dan dalam tugasnya dibantu oleh Pangiwa. Disini kita ditanya tentang asal usul kita dan keperluan kita berkunjung, dan kemudian  dipersilahkan mengisi daftar tamu (kunjung). Jadi setiap warga asing yang masuk harus lapor dulu disini, mungkin kantor Hansip deh istilahnya lah. Heheheee... Perjalanan menjelang sore itu terbilang cukup berat. Selain medan yang naik turun, hujan pun selalu mengiringi langkah kami. Bagi masyarakat Baduy Dalam sendiri, perjalanan biasanya hanya 2 jam tapi kalau mengantar bersama orang luar sekurangnya sekitar 4 jam’an. Sungguh tidak bisa bayangin ‘tuh orang Baduy bolak-balik dengan medan yang ekstrim dan nggak pakai alas kaki lagi alias “nyeker”. Disela-sela perjalanan kita berbicang kecil tentang kehidupan masyarakat Baduy.  Baduy Dalam masih memegang kukuh tradis yang ada, jika melanggar maka harus keluar dari kampung dan menjadi warga Baduy Luar. Sebagai contoh, misalnya orang Baduy dalam tidak boleh menikah dengan orang luar. Apabila melanggar maka harus keluar dari desa. Mereka juga tidak mengenal pacaran, jadi dijodohkan antar keluarga. Masyarakat Baduy Dalam tidak diperkenangkan bersentuhan dengan teknologi ataupun kebudayaan luar. Maka dari itu kampungnya pun tidak ada listrik apalagi menggunakan HP. Sebelum masuk ke Baduy Dalam kita harus melewati sekitar 3-4 kampung Baduy Luar.  Satu kampung berisi 40 rumah, jarak antar kampung sekitar 5-7 Km. Kita juga harus melewati 5-6 gunung dengan tanah yang becek, jalan naik turun, hujan, barang bawaan yang berat ditambah lagi “Skiny Jeans” yang menyiksa (saat berhenti langsung ganti celana pendek). Setiap melewati sungai kita disuguhkan dengan jembatan bambu dengan sturktur yang unik buatan asli orang Baduy, bahkan katanya jika kita lewat jalur yang satunya kita bisa melihat jembatan Akar. Gak kebayang akar tumbuhan dijadiin jembatan.
Jalan setapak
Cuaca semakin tak bersahabat, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat disalah satu rumah kampung  Baduy Luar. Karena sepatu terasa berat akibat basah dan medan yang licin maka saya putuskan untuk tidak memakai sepatu/sendal. Yups! sama seperti Kak Juli dan Kak Rohmad, ”nyeker mode on”.  Saat duduk sambil menikmati hujan tak sadar teh hangatpun disuguhkan oleh wanita baya. Kita hanya saling bertatap mata tanpa ada sedikitpun pembicaraan saat itu, entah karena malu atau memang  tradisi yang tak memperbolehkan. Kemudian anak-anak mulai keluar rumah untuk menatap kami dengan senyum polosnya. Lagi-lagi tak ada kata-kata, hanyalah saling berbalas senyum sebagai tanda perkenalan. Menurut kami itu lebih dari cukup untuk menyampaikan bahwa kita tidak satu suku tapi kita satu bangsa (spirit of Bhineka Tunggal Ika). Kini hujan mulai mereda kami akhirnya melanjutkan perjalanan. Dua kampung Baduy sudah kami lalui, ditengah perjalanan kami pun sempat melihat sebuah aktifitas penebangan yang bertujuan untuk membuat kampung baru. Sekilas info yang kami dapatkan, untuk pembuatan rumah masyarakat adat Baduy tidak menggunakan paku, namun hanya serat atau ijuk tumbuhan saja untuk mengikat antar kayu.

Baduy Kecil
Saat melewati batas tertentu tiba-tiba kita diberi tahu untuk tidak mengambil foto lagi karena  dari sini sampai selanjutnya sudah masuk kawasan Baduy Dalam. Kita menaati karena yang namanya tamu harus menaati peratuan tuan rumahnya. Nafas belum turun kami masih harus melewati rajanya tanjakan atau  sering disebut “Tanjakan Cinta” orang Baduy menyebutnya begitu. Posisi jembatan sangat lebay dan membuat kian galau,  kemiringan hampir 80° dengan jarak 500-700 M sampai dipuncaknya. Kita sering berhenti untuk mengambil nafas dan berjalan sangat hati-hati karena licinnya jalan tanah yang kami lalui sempat menjatuhkan kami beberapa kali. “Ohh, I miss you so much mom!”. Akhirnya setelah berjalan kaki sekitar 4 jam kami sampai juga di Baduy Dalam. Kampung yang kami kunjungi ini disebut Cibeo. Baduy Dalam itu ada 3 kampung yaitu Cikertawarna, Cikeusik dan Cibeo. Kondisi kampung tidak berbeda jauh dengan Baduy Luar, hanya saja terlihat baju yang dikenakan agak sedikit terbuka. Setelah kami dipersilahkan masuk, didalam rumah sudah ada ayah dan ibunya beserta adik-adik dari kakak yang mengatar kami. Tidak berlama-lama kami mulai mengakrabkan diri, disela-sela perbincangan akhirnya makan malam pun tiba. Menunya sih sederhana, yaitu hanya sambel dan pete bakar. Namun sungguh terasa nikmat sekali, itu karena keramahan dan sambutan hangat beliau sekeluarga. Malam kian menjelang, heningnya mulai menyisir hati kami. Namun semakin banyak cerita yang kami dapat dari ayahanda Kak Juli, yang akan saya bagikan untuk menambah wawasan kawan-kawan semua:
Pertama Kepala adat masyarakat Baduy disebut Puun. Ada 3 Puun masing-masing di 3 kampung Baduy Dalam, Puun sekaligus menaungi Baduy Luar. Sedangkan urusan kampung diserahkan ke Jaro. Ibaratnya Puun itu Raja sedangkan Jaro itu perdana menterinya. Si Jaro sendiri ada 4 orang yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. Nah Jaro Pamerentah tempat pertama kita harus mengisi daftar kunjung.
Kedua Baduy Dalam itu memakai ikat kepala putih, baju putih dan biru tua. Sedangkan Baduy Luar pakaian dan ikat kepalanya berwarna hitam. Agama mereka kayaknya campuran, yaitu Islam dan animisme. Mereka Islam, mengaku sebagai keturunan Nabi Adam. Tapi mereka tidak Solat 5 waktu. Ibadah mereka di implementasikan dalam kehidupan sehari yaitu tetap memegang kukuh aturan adat. Mereka juga puasa tapi berbeda bulan dengan bulan ramadhon. Mereka masih memuja roh nenek moyang. Pemujaan dilakukan di Tanah Ulayat. Tanah ini tidak boleh dilewati oleh orang Baduy sendiri, terlebih orang luar  kecuali oleh ketua adatnya. Ketua adat melakukan pemujaan satu tahun sekali.
Ketiga Katanya Si Bapak, ada salah satu tokoh Parpol (*tidak saya sebutkan, takut bermasalah coyy!), pernah masuk kesini dengan membawa 100 orang. Serasa ada yang ganjil kenapa harus membawa banyak orang. Maksud dan tujuan kedatangan anggota parpol tersebut bisa saya tangkap setelah pembicaraan mengembang ke arah PEMILU. Yups! Ternyata masyarakat Baduy juga mendapat hak suara lho. Lalu gimana caranya apa kotak suara digotong ke hutan? Ternyata tidak juga, surat suara pemilu dikolektifkan menjadi satu suara artinya masyarakat Baduy secara otomatis mengikuti Tokoh yang dipilih Puun atau Kepala Adat-nya. Menarik! Cukup dengan mendekati Puun, si Parpol tertentu sudah sekurangnya mendapatkan 5000 suara. Langkah politik yang cerdas walau katanya harus ada angota parpol yang ditandu karena tidak kuat jalan untuk mencapai Baduy Dalam. Maka tidaklah heran apabila ada salah satu masyarakat Suku Baduy ada yang menjadi angota DPR provinsi Banten.
Keempat Masyarakat Baduy itu sering keluar berpetualang, bahkan sampai Bandung dan Jakarta. Tetapi dalam perjalanan tidak boleh naik kendaraan dan tidak mengunakan sandal karena memang sudah aturan. Aturan itu akan selalu dijalankan walaupun berada di wilayah luar Baduy sekalipun. Peraturan lainya yaitu tidak boleh bersekolah, tidak boleh berternak hewan kaki empat, dilarang memanfaatkan alat eletronik, dan “beristri lebih dari satu”. Katanya sih, apabila mereka tetap nekat melanggar naik kendaraan atau melanggar aturan apapun, Puun atau Ketua Adat bisa mengetahui walaupun tidak melihat secara langsung.
Kerajinan tenun Baduy
Dinginya malam juga yang mengakhiri pembicaraan kami. Kami pun dipersilahkan untuk istirahat karena besok pagi harus pulang lagi. Yahh! Memang terasa singkat tetapi banyak pengalaman baru yang kita dapatkan selama berada disana. Keesokan harinya kita bersiap untuk pulang, belum sempat mengelilingi penuh kampung Baduy disana. Niat urung kami lakukan, karena mulai dari kami berangkat kemarin sampai esoknya hujan itu tidak berhenti berhenti. Disaat perjalanan pulang tidak banyak yang bisa diceritakan, selain hutan dan pegunungan tidak ada hal lain yang bisa dilihat disitu. Seperti biasa sesekali kita sempat berhenti dikampung Baduy Luar untuk sekedar mengambil nafas dalam dalam. Saat hampir tiba kami menyempatkan diri untuk membeli cinderamata diantaranya ikat kepala, madu, kain tenun dan kaos.   Tips jangan beli kain tenun di Badui Dalam karena mereka juga mengambil/membeli dari Badui Luar, karena itu pula harga yang ditawarkan oleh Badui Dalam jauh lebih mahal.  Lalu jika ingin membeli madu hendaknya dicek dulu keaslianya. Akhirnya kami tiba di rumah Aa’ Agus, salam perpisahan dan terimasih pun kami ucapkan dengan Kakak Juli dan Kakak Rohman. Walau singkat namun sangat berkesan dan memberi pengalaman baru.
Berat rasa dalam hati untuk meninggalkan tempat itu, seolah kaki kami terpaku dan enggan untuk beranjak. Sayang sungguh disayang, petualangan semalam serasa sepintas berlalu dalam dekipan mata memandang. Namun kesan mendalam yang akan membawa kami kembali lagi suatu hari nanti. Dengan ini berakhirlah petualangan kami di Kampung Suku Baduy. Untuk para turisers, “Ayo kapan podo dolen mrene? Tak enteni neng Bogor”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar