Semalam
dengan Sejuta Kesan (Baduy Vacation)
|
Kampung Baduy |
Saucap pangjajap, Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. Puji sinareng
syukur mugia urang panjatkeun aka agungan nu maha ngagaduhan sagala isi alam
dunya ieu nyaeta Allah SWT. Shalawat sinareng salam mugia urang panjatkeun ka
junjungan urang sadaya nabi Muhammad SAW. Nalika dina lallampahan ka suku baduy
abdi janwar bade nepangkeun ka para pangaos seratan ieu. Abdi ngalampah ameng
ka suku baduy sareng rencang nu namina yonandha. Abdi sareng Nandha
ngahaturkeun salam ka rerencangan anu aya di jawa. Lalampahan ka baduy teh
sanes acara hura-hura tapi acara ngenalkeun sareng ngadekeutkeun kana
kaanekaragaman budaya nu aya di tanah sunda khususna tanah baduy. Tanah anu
pinuh ka unikan sareng kabungahan pikeun abdi nyalira sareng yonandha. Upami
rerencangan nu ti jawa kersa sareng aya waktos hayu urang ameng ka baduy
supados raos paningal kana kahirupan nu sabenerna nu aya di baduy. Da upami
sanes urang sadaya saha deui nu rek ngalestarikeun sareng ngajaga tina kaunikan
anu diciptakeun ku Allah Swt. Mung sakitu panghatur salam ti abdi pikeun
rerencangan nu aya ti jawa. Hatur nuhun wassalamualaikum wr.wb.
Artinya: Salam kenal aja dari kami poro
turisers hehehehehehhhee... Kali ini saya berpetuanlang dengan teman saya
bernama Janwar (nek jaJAN rak usaha naWAR), dia juga yang menulis salam pembuka buat
poro turisers. Sebagai turis freelance atau turis cadangan, atau apapunlah sebutannya yang penting ada turisnya. Akhirnya saya menulis
juga tentang perjalanan ke Baduy. Yaa Baduy, bukan serial komedi situasi “Bajai Baduyi”, apa lagi lagu “Baduy
Lautan Api”. Tapi ini merupakan suku asli di Provinsi Banten, tepatnya berada diiiiii situuuu! “Iya
pokoknya disitu! Untuk mempermudah penyebutannya saja, karena saya lupa
nama tempatnya hahahahaa…”. Kalo
menurut mbah google, BADUY
merupakan kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi masyarakatnya sekitar 5.000 jiwa dan merupakan salah satu suku yang
menerapkan isolasi dari dunia luar.
|
Saya bersama Kak Juli dan Kak Rohman |
Jumat, 30 Desember 2011 beserta teman saya berangkat dari
Leuiwiliang tempat tinggal kami. Mulanya rencana yang berangkat 8 orang,
namun tiba-tiba 6 orang
membatalkan perjalanan. Karena “mental
turis” yang besar akhirnya kami tetap
berangka, meskipun hanya tinggal 2 orang. Perjalanan ini kami tempuh menggunakan sepeda motor, menuju arah
Jasinga lalu ke Ci Minyak. Berhubung hari jumat, meskipun kami jarang sholat 5 waktu tetapi tetaplah hari jumat
harus melaksanakan Sholat Jum’at. Uniknya untuk berwudu kita tidak menggunakan
sumur atau air PAM, tapi kita
berwudu di Sungai mungkin itu kebiasaan masyarakat setempat. Setelah sampai di
Ciminyak kita menuju arah Cisimeut dan berakhir di terminal Ciboleger. Walaupun
terdengar aneh, nama tempat tersebut tidak direkayasa. Kira-kira 2-3 jam
dari landing, kami sudah bisa
mencapai tujuan dengan satu kali
beristirahat.
|
Bercengkraman dengan warga setempat |
Terminal
Ciboleger merupakan pintu masuk resmi sekaligus tempat bermukimnya suku
Baduy Luar. Sesampainya disana kita langsung didatangi oleh seseorang yang tidak kami kenal sebelumnya. Kami
kemudian berkenalan dan berbincang-bincang sejenak.
Setelah sesaat berbincang akbrab kami pun berkenalan, namanya Aa’ AGUS (Agak Gundul Ujungnya
Sobek).
Ternyata beliau adalah orang yang mempunyai link untuk mengantarkan kami ke
wilayah Baduy, atau bisa disebut sebagai biro wisata yang menguasai, tetapi tidak dikelola dalam
bentuk perusahaan melainkan hanya perantara biasa (perorangan). Kami ditawari
paket 1 malam menginap sebesar IDR 150K tidak
termasuk makan. Banyak atau sedikit orang yang berangkat ke “Baduy Dalam” tetap IDR 150K, jadi yang dihitung harga perjalanan
bukan perorangan. Dengan jurus tawar menawar dalam bahasa sunda, akhirnya kita sepakat dengan harga IDR 100K.
Setelah mendapat kata deal, si Aa’ Agus pergi sebentar dan kembali dengan membawa 2 orang suku Baduy Dalam. Kedua orang
inilah yang akan mengantarkan kami ke
kampungnya. Ohiyaa nama kedua orang tersebut adalah Kakak Juli dan Kakak Rohman. Eitts... ini bukan
bermaksud melucu seperti Stand
Up Comedy lho! Tapi sebutan “Kakak” merupakan tradisi
lisan dalam masyarakat Baduy.
|
Di beranda rumah |
Sebelum
berangkat kita diberi tahu untuk mematuhi peraturan-peraturan di kampung Baduy, diantaranya tidak boleh mengambil foto (*sangat bertolak belakang dengan
hasrat saya). Kalau melanggar maka bisa dijatuhi sangsi dipenjara.
“Whaaaaaaatttt, penjara!” jangan kaget dulu istilah penjara yang dimaksud
adalah kita ditahan selama 40 hari di dalam desa Baduynya. Hadeehh-hadeehh, ya
sudahlah walau sedikit kecewa kita tetap harus menghormati dan menuruti peraturaan tersebut. Walupun begitu wilayah Baduy Luar masih diperbolehkan difoto. Saat memulai perjalanan kita
disuguhkan berbagai pernak-pernik cinderamata khas Baduy, mulai dari kain tenun Baduy, sarung Baduy, ikat kepala, madu dan
lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar
memang lebih dikenal dengan hasil kerajinannya. Sedangkan suku Baduy Dalam tidak membuat pernak-pernik
tersebut, namun hanya tradisi
yang selalu dipertahankan hingga
saat ini.
|
Si Janwar berada di jembatan bambu |
Kita
berangkat pukul 14.00 WIB, kira-kira
5 menit berjalan kita berhenti di rumah Kepala Desa Baduy Luar di daerah tersebut. Masyarakat Baduy
sering menyebutnya Jaro Pamarentah, secara adat bertugas sebagai
penghubung antara masyarakat adat Kanekes (Baduy Dalam) dengan pemerintah nasional, dan dalam
tugasnya dibantu oleh Pangiwa.
Disini kita ditanya tentang asal usul
kita dan keperluan kita
berkunjung, dan kemudian
dipersilahkan mengisi daftar tamu
(kunjung). Jadi setiap warga asing yang masuk harus lapor dulu disini, mungkin kantor Hansip deh istilahnya
lah. Heheheee... Perjalanan menjelang sore itu terbilang cukup berat. Selain medan yang naik turun, hujan
pun selalu mengiringi langkah kami. Bagi
masyarakat Baduy Dalam sendiri, perjalanan biasanya hanya 2 jam tapi
kalau mengantar bersama orang
luar sekurangnya sekitar 4 jam’an. Sungguh tidak bisa bayangin ‘tuh orang
Baduy bolak-balik dengan medan yang ekstrim dan nggak pakai alas kaki lagi alias “nyeker”. Disela-sela perjalanan kita
berbicang kecil tentang kehidupan masyarakat Baduy. Baduy Dalam masih
memegang kukuh tradis yang ada,
jika melanggar maka harus keluar dari kampung dan menjadi warga Baduy Luar. Sebagai contoh, misalnya orang Baduy
dalam tidak boleh menikah dengan orang luar. Apabila melanggar maka harus keluar dari desa.
Mereka juga tidak mengenal pacaran, jadi dijodohkan antar keluarga. Masyarakat
Baduy Dalam tidak diperkenangkan bersentuhan dengan teknologi ataupun
kebudayaan luar. Maka dari itu kampungnya pun tidak ada listrik apalagi
menggunakan HP. Sebelum masuk ke Baduy Dalam
kita harus melewati sekitar 3-4 kampung Baduy Luar. Satu kampung
berisi 40 rumah, jarak antar kampung sekitar 5-7 Km. Kita
juga harus melewati 5-6 gunung
dengan tanah yang becek, jalan naik turun, hujan, barang bawaan yang berat ditambah lagi “Skiny Jeans” yang menyiksa (saat berhenti langsung ganti celana
pendek). Setiap melewati sungai kita disuguhkan dengan jembatan bambu dengan
sturktur yang unik buatan asli orang Baduy, bahkan
katanya jika kita lewat jalur yang satunya kita bisa melihat jembatan Akar. Gak
kebayang akar tumbuhan dijadiin jembatan.
|
Jalan setapak |
Cuaca
semakin tak bersahabat, akhirnya
kami memutuskan untuk istirahat disalah satu rumah kampung Baduy Luar. Karena sepatu terasa berat
akibat basah dan medan yang licin maka saya putuskan untuk tidak memakai
sepatu/sendal. Yups! sama seperti Kak Juli
dan Kak Rohmad, ”nyeker mode on”. Saat duduk sambil menikmati
hujan tak sadar teh hangatpun disuguhkan oleh wanita baya. Kita
hanya saling bertatap mata tanpa
ada sedikitpun pembicaraan saat itu, entah karena
malu atau memang tradisi yang tak memperbolehkan. Kemudian anak-anak
mulai keluar rumah untuk menatap kami dengan senyum polosnya. Lagi-lagi tak ada
kata-kata, hanyalah saling berbalas senyum sebagai tanda
perkenalan. Menurut kami itu
lebih dari cukup untuk menyampaikan bahwa “kita tidak satu suku tapi kita satu bangsa” (spirit of Bhineka Tunggal Ika). Kini hujan mulai mereda kami akhirnya
melanjutkan perjalanan. Dua kampung Baduy sudah kami lalui, ditengah perjalanan kami
pun sempat melihat sebuah aktifitas penebangan yang bertujuan untuk membuat
kampung baru. Sekilas info yang
kami dapatkan, untuk pembuatan
rumah masyarakat adat Baduy tidak menggunakan paku, namun hanya serat atau ijuk tumbuhan saja
untuk mengikat antar kayu.
|
Baduy Kecil |
Saat
melewati batas tertentu tiba-tiba kita
diberi tahu untuk tidak mengambil foto lagi karena dari sini sampai
selanjutnya sudah masuk kawasan Baduy Dalam. Kita menaati karena yang namanya
tamu harus menaati peratuan tuan rumahnya. Nafas belum turun kami masih
harus melewati rajanya tanjakan atau sering disebut “Tanjakan Cinta” orang Baduy menyebutnya begitu. Posisi jembatan sangat lebay dan membuat
kian galau,
kemiringan hampir 80° dengan jarak 500-700 M sampai dipuncaknya. Kita sering berhenti
untuk mengambil nafas dan berjalan sangat hati-hati karena licinnya jalan tanah yang kami lalui sempat menjatuhkan kami beberapa kali. “Ohh, I miss you so much mom!”. Akhirnya
setelah berjalan kaki sekitar 4 jam kami sampai juga di Baduy Dalam. Kampung
yang kami kunjungi ini disebut Cibeo. Baduy Dalam itu ada 3 kampung yaitu Cikertawarna, Cikeusik dan Cibeo. Kondisi kampung tidak berbeda
jauh dengan Baduy Luar, hanya saja terlihat baju yang
dikenakan agak sedikit terbuka.
Setelah kami dipersilahkan masuk, didalam rumah sudah ada ayah dan ibunya
beserta adik-adik dari kakak yang mengatar kami. Tidak berlama-lama kami mulai
mengakrabkan diri, disela-sela perbincangan akhirnya makan malam pun tiba.
Menunya sih sederhana, yaitu hanya sambel dan pete bakar. Namun sungguh terasa nikmat sekali, itu karena keramahan dan sambutan hangat
beliau sekeluarga. Malam
kian menjelang, heningnya mulai menyisir hati kami. Namun semakin banyak cerita
yang kami dapat dari ayahanda Kak Juli, yang akan
saya bagikan untuk menambah wawasan kawan-kawan semua:
Pertama Kepala adat masyarakat Baduy disebut Puun. Ada 3 Puun masing-masing di 3 kampung Baduy
Dalam, Puun sekaligus menaungi Baduy Luar. Sedangkan urusan kampung
diserahkan ke Jaro.
Ibaratnya Puun itu Raja sedangkan Jaro itu perdana menterinya. Si Jaro sendiri ada 4 orang yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. Nah Jaro Pamerentah tempat pertama kita harus mengisi daftar kunjung.
Kedua Baduy Dalam itu
memakai ikat kepala putih, baju putih dan biru tua. Sedangkan Baduy Luar pakaian dan ikat kepalanya
berwarna hitam. Agama mereka kayaknya campuran,
yaitu Islam dan animisme. Mereka
Islam, mengaku sebagai keturunan Nabi Adam. Tapi mereka tidak Solat 5 waktu.
Ibadah mereka di implementasikan dalam kehidupan sehari yaitu tetap memegang
kukuh aturan adat. Mereka juga puasa tapi berbeda bulan dengan bulan ramadhon.
Mereka masih memuja roh nenek moyang. Pemujaan dilakukan di Tanah Ulayat. Tanah ini tidak boleh dilewati
oleh orang Baduy sendiri, terlebih orang
luar kecuali oleh ketua adatnya. Ketua adat melakukan pemujaan satu tahun
sekali.
Ketiga Katanya Si Bapak, ada salah satu tokoh Parpol (*tidak saya
sebutkan, takut bermasalah coyy!), pernah masuk kesini dengan membawa 100
orang. Serasa ada yang ganjil kenapa harus membawa banyak orang. Maksud dan
tujuan kedatangan anggota parpol tersebut bisa saya tangkap setelah pembicaraan
mengembang ke arah PEMILU. Yups! Ternyata
masyarakat Baduy juga mendapat hak suara lho. Lalu
gimana caranya apa kotak suara digotong ke hutan? Ternyata tidak juga, surat suara pemilu dikolektifkan menjadi satu suara
artinya masyarakat Baduy secara otomatis mengikuti Tokoh yang dipilih Puun atau Kepala Adat-nya. Menarik! Cukup dengan
mendekati Puun, si Parpol
tertentu sudah sekurangnya mendapatkan 5000 suara. Langkah politik yang
cerdas walau katanya harus ada angota parpol yang ditandu karena tidak kuat jalan untuk mencapai Baduy Dalam. Maka tidaklah heran apabila ada salah
satu masyarakat Suku Baduy ada yang menjadi angota DPR provinsi Banten.
Keempat Masyarakat Baduy itu
sering keluar berpetualang, bahkan sampai Bandung dan Jakarta. Tetapi
dalam perjalanan tidak boleh naik kendaraan dan tidak mengunakan sandal karena
memang sudah aturan. Aturan itu akan selalu dijalankan walaupun berada di
wilayah luar Baduy sekalipun. Peraturan lainya yaitu tidak boleh
bersekolah, tidak boleh berternak hewan kaki empat, dilarang memanfaatkan alat
eletronik, dan “beristri lebih dari satu”. Katanya sih, apabila mereka tetap nekat melanggar naik kendaraan atau melanggar aturan apapun, Puun atau Ketua Adat bisa mengetahui walaupun tidak melihat secara langsung.
|
Kerajinan tenun Baduy |
Dinginya
malam juga yang mengakhiri pembicaraan kami. Kami pun dipersilahkan untuk istirahat karena
besok pagi harus pulang lagi. Yahh! Memang
terasa singkat tetapi banyak pengalaman baru yang kita dapatkan selama berada disana. Keesokan
harinya kita bersiap untuk pulang, belum sempat mengelilingi
penuh kampung Baduy disana. Niat urung kami lakukan, karena
mulai dari kami berangkat kemarin sampai esoknya hujan
itu tidak berhenti berhenti. Disaat perjalanan pulang tidak banyak yang bisa
diceritakan, selain hutan dan
pegunungan tidak ada hal lain yang bisa dilihat disitu. Seperti biasa sesekali
kita sempat berhenti dikampung Baduy Luar untuk sekedar mengambil nafas
dalam dalam. Saat hampir tiba kami menyempatkan diri untuk membeli cinderamata
diantaranya ikat kepala, madu, kain tenun dan kaos. Tips jangan beli
kain tenun di Badui Dalam karena mereka juga mengambil/membeli dari Badui Luar, karena itu pula harga
yang ditawarkan oleh Badui Dalam jauh lebih
mahal. Lalu jika ingin membeli madu hendaknya dicek dulu keaslianya.
Akhirnya kami tiba di rumah Aa’ Agus,
salam perpisahan dan terimasih pun kami ucapkan dengan Kakak Juli dan Kakak Rohman. Walau singkat namun
sangat berkesan dan memberi pengalaman baru.
Berat
rasa dalam hati untuk meninggalkan tempat itu, seolah kaki kami terpaku dan
enggan untuk beranjak. Sayang sungguh disayang, petualangan semalam serasa
sepintas berlalu dalam dekipan mata memandang. Namun kesan mendalam yang akan
membawa kami kembali lagi suatu hari nanti. Dengan
ini berakhirlah petualangan kami di Kampung
Suku Baduy. Untuk para turisers,
“Ayo kapan podo dolen mrene? Tak enteni neng Bogor”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar