PENGARUH
PERTUNJUKAN WAYANG DALAM DINAMIKA
POLITIK
INDONESIA TAHUN 1966
(Sebuah
Kajian singkat Memorandun DW. Ropa untuk W.W. Rostow)
oleh : Yonandha
Wayang adalah Seni pertunjukan yang
telah berusia lebih dari lima abad. Pertunjukan seni ini yang sudah meresap
pada masyarakat indonesia khususnya
masyarakat jawa kala itu. Didalam cerita wayang terdapat pesan yang disampaikan
dalam suatu kisah yang disajikan dalam sebuah pergelaran wayang. Kadang Pesan ini
terselubung sehingga terdapat pesan-pesan politik dari pemerintah yang
ditujukan kepada masyarakat, maupun sebaliknya. Cerita wayang bisa dikatakan fiktif seperti cerita ramayana
sedangkan dinamika politik indonesia adalah nyata. Di tahun
1966 kondisi politik Indonesia tidak stabil dimana setelah dikeluarkanya SUPERSEMAR 1966
terjadi sebuah gerakan bertahap untuk menggantikan kekuasaan Sukarno. Contoh
nyata adalah susunan kabinet baru Juli 1966 yang bisa dikatakan sebagai
kekalahan Bung Karno. Kekuasaan bung karno semakin hilang dengan
disingkirkannya kaki tanganya di pemerintah seperti Leimena, Roeslan Abdul
Gani, Mulyadi Djojomartono, Dr Satrio dll. Kabinet baru ini justru menguatkan
posisi Suharto. Suharto sebagai Ketua dan merangkap anggota Presidium dari lima
menteri pertama, salah satu menterinya adalah Suharto sendiri sebagai Menteri
Pertahanan dan keamanan. Dipertahankannya Adam Malik dan Sultan HB semakin mengokohkan posisi Suharto
yang juga sering disebut sebagai Trimuviat.
Kembali lagi ke wayang, bahwa pernah terdapat sebuah
keanehan ketika sebuah lakon wayang yang akan dipertunjukan kala itu tiba tiba diganti
hanya karena takut menimbulkan sebuah persepsi tertentu mengenai langkah
politik yang sedang ditempuh pemerintah. D.W Ropa (Staff Nasional Security
Council) mengatakan kepada W. W Rostow
(Asisten Presiden Jhonson) bahwa Mistisisme Jawa sangat meresapi politik
indonesia dan sangat mempengaruhi dinamika politik. Ada kecenderungan orang
jawa sering mengkait kaitkan situasi politik yang sedang terjadi. Bisa dilihat
saat Lima menit sebelum pertunjukan wayang pada bulan Juli 1966 yang akan
menampilkan lakon sebenarnya, secara tiba tiba digagalkan karena izin dari
polisi ditarik atas pertimbangan situsi politik yang sedang terjadi. Lakon yang
sebenarnya ingin ditampilkan adalah “Kresna Duta” yang bercerita tentang usaha
terakhir Pandawa untuk berdiplomatik dengan Raja Sujana (pihak Kurawa) dalam
rangka mencapai kesepakatan atau penyelesaian secara damai pembagian kerajaan
Ngastina. Sujana menyambut Kresna dengan baik hati tetapi disaat terakhir
Perdana Mentri Sengkuni dan Menteri Luar Negri Durna mempengaruhi Raja Sujana
untuk menyerang dan membunuh Kresna karena pada saat pembicaraan berakhir tidak
menghasilkan apa apa. Tetapi Kresna yang berhasil lolos dan merencang
peperanagan besar yang bernama Baratayudha Jayabinangun yang akhirnya berhasil
membunuh para Kurawa.
Menurut Prijono yang kala itu menjabat sebagai Mentri
Koordinator Bidang Pendidikan dan Kebudayaan bahwa lakon yang seharusnya
dimainkan gagal karena dapat mengundang berbagai macam kritikan terhadap
perjalanan Adam Malik (Mentri Luar Negri Indonesia) ke Bangkok untuk
menyelesaikan Konflik dengan Malaysia. Sebagai ganti dari lakon Kresna Duta
maka ditampilkan lakon “Lahirnya Wisanggeni”. Wisanggeni adalah anak pertama
Arjuna yang secara Politik identik dengan lahirnya kembali gerakan pelajar dan
mahasiswa KAMI dengan generari 66 ( KAMI
sempat dilarang Oleh Bung Karno). Lakon ini selanjutnya menjadi sering
dimainkan di dalam pertunjukan wayang indonesia.
Selain diatas masih banyak keterkaitan wayang dengan
kehidupan politik di indonesia. Seperti burung Garuda lambang negara kita. Burung
garuda berdekatan dengan burung elang Rajawali. Burung ini terdapat dalam
lukisan di candi-candi Dieng yang dilukiskan sebagai manusia berparuh dan
bersayap, lalu di candi Prambanan, dan Panataran berbentuk menyerupai raksasa,
berparuh, bercakar dan berambut panjang.Didalam kisah wayang Garuda
adalah raja burung. Berjamang dan dapat bertutur sebagai manusia. Kalau
berperang, ia bisa menyerang dan mematuk musuhnya. Burung ini berjamang dengan
garuda membelakang. Bermata telengan. Kendaraan untuk perang ini dapat juga
membantu tuannya dalam melawan musuh. Tersebut dalam cerita, burung garuda
kendaraan Pabu Bomanarakasura bernama Wilmuka dan berarti burung bermuka
raksasa. Pelatuk burung itu bergigi dan kakinya berjalu. Kemudian Jika kita membaca Catatan Seorang
Demonstran Soe hok gie, dalam demonstrasi 1965-1966, nama Subandrio dikaitkan
dengan sosok pewayangan Dorna, lalu kisah presiden Suharto yang dikaitkan
dengan lakon wayang Semar Mbangun Kahyangan menjadi cerita wayang yang laris manis
di era Orde Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar